MajalahKebaya.com, Jakarta – Berhasil membangun karier di bidang pertambangan membuat Dr. Eng. Stephanie Octorina Saing, S.T., M.T layak diapresiasi. Dunia yang mayoritas didominasi laki-laki berhasil digeluti secara profesional oleh perempuan yang akrab disapa Stephanie ini. Sesuai dengan latar belakang pendidikan yang ditempuh, yakni di bidang pertambangan, Stephanie menekuni karier sebagai konsultan pertambangan. Langkah tegap kariernya dimulai sejak tahun tahun 2015, sepulang dari menamatkan studi S3 Earth Science and Technology di Akita University, Jepang.
Awalnya Stephanie sempat kesulitan mencari peluang karier di dunia professional. Karena di Indonesia tidak banyak industri yang menerima tenaga kerja berlatar belakang S3 yang dianggap lebih cocok menduduki profesi sebagai dosen. Selama enam bulan, perempuan kelahiran Palembang, 28 Oktober ini, bahkan mengalami jobless. Usaha keras yang dilakukan melalui jalur networking dari alumni Insitute Teknologi Bandung (ITB), tempat ia menyelesaikan pendidikan S1 dan S2, akhirnya ia diterima sebagai Senior Geologist di sebuah perusahaan konsultan pertambangan.
Stephanie begitu all out dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab, juga berupaya mempelajari serta menguasai hal-hal baru dengan cepat. Kariernya terus berkembang hingga di tahun 2017, ia direkrut perusahaan yang tercatat sebagai lima besar konsultan tambang di Indonesia. Di tahun 2020, Stephanie dipercaya menjadi Direktur di salah satu perusahaan yang bergerak untuk menangani pemetaan dan pengembangan sosial masyarakat di lingkar tambang.
Profesionalitas Stepahnie tidak hanya berpegang teguh pada dunia kerja. Ia banyak terlibat pada kegiatan atau bisnis sosial. Salah satunya mengoleksi tenun dari berbagai daerah. Kecintaannya pada wastra nusantara inilah yang menginisiasinya merintis Tinung Rambu di tahun 2019. Kebahagiaan dan kenyamanan muncul dalam dirinya ketika ia melihat tenun. Perasaan cinta yang membuat ia memiliki kekuatan untuk membangun Tinung Rambu yang bermanfaat sebagai media para penenun untuk memasarkan karya mereka, sehingga perekonomian sedikit lebih baik.
“Karena di situ ada cinta yang dibuat oleh perempuan untuk keluarganya, untuk calon suaminya, untuk calon anaknya atau untuk cucunya. Membuat seseorang membentuk tanda cinta, tanda kasih terhadap orang yang dikasihi. Seiring waktu, saya menilai tenun ini sebagai komoditas. Sayangnya, kita tidak bisa menjangkau seluruh penenun. Untuk itulah saya membangun Tinung Rambu, sebagai media para penenun memasarkan karya mereka sehingga perekonomian mereka bisa sedikit lebih baik.”
Menggeluti bisnis sesuai apa yang ia cintai bahkan menjadi me time saat menghadapi tantangan pekerjaan ataupun keluarga. Memberikannya ruang untuk memikirkan ide-ide baru yang bisa menjadi berkat bagi banyak orang.
“Produk yang kami tawarkan kain tenun hampir semua di-custome, mulai dari pewarna hingga ukuran bisa dibuat berbeda. Kami merangkul penenun dari 7 kampung di NTT, di antaranya Pulau Timor, Flores, Rote dan Sumba. Ada yang kolaborasi sifatnya ada yang memang development langsung dengan produk yang bermacam-macam turunannya. Kita juga membuat aksesoris dengan harga terjangkau supaya anak muda mau mengenal kain tenun dan bisa melestarikan ke depannya. Untuk itu produk kita mengusung 5 values, yakni pemberdayaan, fair trade, berwawasan lingkungan, originality, dan pelestarian budaya. Sehingga bisa mengenalkan tenun motif yang ada, menggali yang lama dan membuat motif-motif baru yang kekinian.”
Bisnis tenun cukup sarat dengan persaingan. Namun Stephanie berharap persaingan tersebut mampu mendorong para pengusaha untuk lebih mengeksplor hal-hal yang baik, bagus dan baru. Sehingga para pecinta wastra bisa lebih mencintai wastra, salah satunya melalui Tinung Rambu.
Selain menjembatani para penenun dalam memasarkan hasil karya mereka, Stephanie memutuskan merintis Tinung Rambu dengan tujuan mendukung operasional sekolah-sekolah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) di beberapa daerah di Indonesia. “Setidaknya 10-30% dari profit Tinung Rambu, kami alokasikan untuk PAUD, baik untuk program bantuan pendidikan hingga program makan sehat setiap bulan. Saat ini, ada 6 PAUD yang kami dukung setiap bulan termasuk dalam proses juga untuk pembangunan gedung sekolah di Pulau Timor dan Pulau Rote.”
Support System. Perjalanan dan tantangan kehidupan tidak akan pernah berhenti bergerak. Ada kesulitan, ada air mata bahkan ada perdebatan yang seringkali tak tentu arah. Stephanie berusaha menjalani fenomena yang terjadi seperti air mengalir. Ia hanya berserah sepenuh hati kepada Sang Pencipta dan berusaha memiliki support system yang luar biasa.
“Support system saya saat ini adalah pasangan saya karena saya ketemu sama suami waktu semester dua. Saya belajar banyak dan juga dari teman-teman saya yang saya kenal. Support system itu bisa siapa saja, tapi yang jelas kita harus percaya dan yakin. Kalau pun kita kalah atau gagal, kita bisa kembali untuk di sini.”
Stephanie termasuk perempuan yang beruntung memiliki pasangan hidup atau suami yang begitu perhatian dan pengertian. Dukungan diberikan satu sama lain dan tidak pernah melarang ketika ia fokus bekerja dan melakukan kegiatan sosial.
“Ada fasenya kadang suami suka nanya. Misalnya kamu tidak pulang-pulang? Berarti saya pulang dulu. Tapi so far suami sangat mendukung saya dan sebaliknya saya mendukung dia dengan pekerjaannya. Suami selalu melihat apa yang saya kerjakan, selama saya memahami batasan yang diberikan semua berjalan dengan lancar.”
Kunci Kesuksesan. Kunci sukses dalam bekerja, menurut Stephanie adalah berpegang teguh kepada Sang Pencipta. Apa pun yang dikerjakan, jangan pernah mengingkari Tuhan. Tekun apa yang dilakukan, menjadi diri sendiri dan menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan.
“Saya kerjakan yang menjadi bagian saya dengan cara terbaik. Gagal atau berhasil itu adalah bonus. Pada akhirnya kita sebenarnya sekarang mengerjakan antrean kita. Menunggu dipanggil saja, jadi kita memberikan yang terbaik. Lelah itu pasti, tetapi kita tetap harus yakin.”
