Profil

Dr. (CAN) Hj. Lisda Hendrajoni, SE, M.M.Tr, Anggota Komisi X DPR RI: Giat Memperjuangkan Aspirasi dan Kebutuhan Masyarakat Sumbar di Bidang Pendidikan

MajalahKebaya.com, Jakarta – Sosok Dr. (CAN) Hj. Lisda Hendrajoni, SE, M.M.Tr.adalah bukti nyata berdayanya perempuan yang menebar manfaat bagi sesama. Dikenal sebagai pemerhati sosial dan keagamaan, kiprahnya untuk masyarakat mencuat saat menjabat Ketua TP PKK Pesisir Selatan. Dengan program Dunsanak Membantu Dunsanak (DMD), bedah rumah, juga bantuan kaki dan tangan palsu, kursi roda, serta operasi bibir sumbing dan katarak yang digagas, ia meraih anugerah Satya Lencana Kebaktian Sosial kategori Pemerhati Sosial dari Presiden Joko Widodo tahun 2018.

Empati Lisda terhadap masyarakat membawanya masuk ke dunia politik. Baginya, perempuan dapat berbuat banyak dengan menjadi politikus. Perempuan mampu menjadi pendengar yang baik serta memiliki naluri dan kepedulian tinggi terhadap berbagai masalah sosial yang terjadi di sekitarnya. Karena itulah ia yakin perempuan mampu menjadi pembawa perubahan ke arah yang lebih sejahtera dan maju.

Nama Lisda kini masuk daftar anggota Komisi X DPR RI yang membawahi bidang Pendidikan, Riset, Pariwisata, dan Olahraga. Sebelumnya, namanya tercatat sebagai anggota Komisi VIII yang menangani bidang keagamaan dan sosial. Ada alasan khusus di balik kepindahan politikus NasDem itu ke Komisi X.

“Saya melihat ada tiga orang perwakilan dari Sumatra Barat (Sumbar) yang berada di Komisi VIII, tapi ternyata tidak ada perwakilan Sumbar di Komisi X. Saya pikir ini adalah sebuah kerugian. Salah satunya adalah, Sumbar selama tiga tahun tidak mendapatkan Program Indonesia Pintar (PIP) dari aspirasi anggota legislatif. Saya akhirnya mengajukan diri. Alhamdulillah, dengan masuknya saya di Komisi X, Sumbar berhasil mendapatkan 45 ribu beasiswa PIP untuk siswa SD hingga mahasiswa,” ungkap istri mantan Bupati Pesisir Selatan Hendrajoni tentang alasannya pindah ke Komisi X.

Terlebih lagi, menurut Lisda, ia juga telah menyelesaikan S3 di bidang Ilmu Pendidikan. Hal itulah yang membuatnya semakin bersemangat untuk menyalurkan aspirasi masyarakat—terutama di Sumbar—tentang pendidikan. Ia memperjuangkan kesejahteraan dan kemajuan di bidang pendidikan, tak hanya tentang sarana dan prasarana yang belum memadai, tapi juga kesejahteraan guru dan proses belajar mengajar yang melibatkan para siswa.

Perempuan yang masuk 50 Wanita Paling Berpengaruh di Indonesia Tahun 2021 versi Media Tempo tersebut mencontohkan Mentawai, yang masih membutuhkan perjuangan ekstra agar anak-anak di sana bisa bersekolah seperti anak Indonesia lainnya. Mulai dari fasilitas menuju sekolah, seragam, juga kebutuhan siswa lain (buku, tas, dll), serta sarana dan prasarana, semua masih jauh tertinggal.

Yang pasti, Lisda selalu menyimak aspirasi masyarakat agar kebutuhan di setiap daerah yang berbeda-beda bisa dipenuhi. Selain itu, masalah guru honorer juga masih menjadi pembahasan yang belum kunjung usai. Ia ingin agar guru tak hanya berstatus honorer, tapi bisa dihargai dengan menjadi PNS.

“Saat ini yang sedang menjadi topik hangat di Komisi X adalah pembahasan tentang Kurikulum Merdeka Belajar. Sosialisasi ke masyarakat dan insan pendidikan. Kurikulum ini insya Allah lebih baik, tapi yang terpenting adalah bagaimana penerapannya oleh guru. Bagaimana guru memiliki kemampuan memotivasi para siswa, karena hal itu adalah sebuah skill yang harus diasah. Misalnya, ada anak yang merasa tertantang untuk menjadi lebih baik jika guru mengatakan ‘masak begitu saja tidak bisa?’, namun ada juga siswa yang justru ciut jika mendengar kalimat tersebut,” ujar perempuan yang pernah bertugas sebagai pramugari kepresidenan selama tahun 1993 hingga 2011 ini.

“Jangan sampai ada salah kata dari guru yang menghancurkan mental anak ke depannya. Kita harus memahami bagaimana caranya agar tanpa kekerasan, anak mau belajar. Dari 80 persen sekolah yang sudah melaksanakan Kurikulum Merdeka Belajar, harus diteliti lagi apakah 80 persen gurunya sudah siap,” imbuh Lisda.

Hal itu berkaitan dengan disertasi S3 Lisda yang membahas tentang kepribadian. Bagaimana penampilan guru secara fisik di depan kelas ternyata juga berpengaruh pada suasana di kelas. Cara guru berbusana, tak hanya agar cantik tapi juga berwibawa. Dan tidak perlu memakai aksesoris berlebihan. Hal tersebut ia sampaikan kepada para guru dalam berbagai pelatihan dan workshop.

Tak hanya soal pendidikan, Lisda juga aktif memperjuangkan aspirasi rakyat terkait perpustakaan, salah satunya tentang pemberian nama gedung dalam Bahasa Indonesia. Ia menyadari bahwa perpustakaan di daerah masih sangat kurang sarana dan prasarananya bahkan tenaga pustakawan pun sangat sedikit. Hal ini menurut Lisda, membutuhkan perjuangan panjang untuk terus membangun perpustakaan.

Demikian pula untuk bidang pariwisata dan ekonomi kreatif. Lisda giat mempromosikan UKM asal Sumbar dan memperbaiki destinasi wisata Sumbar yang sebenarnya sangat kaya dan berpotensi.

Lisda juga menyatakan harapannya agar pemerintah tidak lagi memberlakukan sebuah keputusan secara mendadak. Sebelum diberlakukan, sebuah aturan tentu membutuhkan sosialisasi untuk menyiapkan masyarakat, juga persiapan dari pelaksana aturan.

“Misalnya saja untuk urusan zonasi sekolah yang kini sedang dalam masa transisi. Tujuan pemerintah sebenarnya bagus, yaitu agar semua sekolah bisa menjadi sekolah favorit. Tapi seharusnya disiapkan dulu sarana-prasarana-infrastrukturnya agar tidak terlalu timpang antara satu sekolah dengan sekolah lain. Peraturan diberlakukan sementara masyarakat dan pihak sekolah bisa dikatakan belum ‘siap’. Demikian juga dengan aturan tentang batas usia minimal untuk masuk sekolah,” jelas Lisda.

Lisda mengapresiasi Kurikulum Merdeka Belajar yang memasukkan unsur kearifan lokal. Dengan demikian, meskipun kita bersaing dengan negara-negara lain untuk menjalankan pendidikan terbaik bagi anak-anak, kita tetap mempertahankan nilai-nilai budaya dan kebaikan yang dimiliki bangsa Indonesia.

Ibu empat anak ini menegaskan bahwa saat ini tidak hanya kepintaran yang dibutuhkan untuk sukses, tapi juga attitude. Karena itulah Kurikulum Merdeka juga memuat pendidikan karakter. Sangat penting mengajarkan anak bahwa tidak cukup hanya menjadi pintar, tapi harus memiliki karakter unggul seperti kejujuran dan integritas. Saat ini, banyak perusahaan besar yang concern pada hal itu.

“Saya membaca buku Rich Dad Poor Dad karya Robert Kiyosaki, dari situ saya belajar tentang pendidikan, tentang bagaimana seorang ayah yang kaya raya memberikan pendidikan bagi anaknya. Sang ayah adalah seorang pengusaha dan si anak juga ingin menjadi pengusaha, maka anak mendapat pendidikan yang fokus pada how to be a good businessman. Sesuai dengan kebutuhan. Hal ini berbeda dengan sistem pendidikan kita, di mana anak dituntut untuk menguasai semua pelajaran. Dan anak yang pandai dalam Matematika dan IPA langsung dicap anak pintar sementara anak yang hebat dalam olahraga dan seni tidak dikategorikan anak pintar. Impian saya, kita bisa mengubah mindset itu. Siapa pun bisa sukses karena dia fokus,” Lisda mengungkapnya impiannya tentang pendidikan di Indonesia.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top